Untaian Cinta Salah

"Okeee, kita terima dulu penelepon pertama! Haloo?"

Hening. Sedikit kesal, kuutak-atik peralatanku. Mas Mudi menyuruhku berhenti dan dia memberi isyarat bahwa "line telepon oke".

Badanku merinding disko, merinding hardcore atau merinding apalah terserah. Ini jam 12 lewat 1 dan penelepon yang diam itu seram. Sumpah.

"Halo?" ulang gue.

Sesenguk tangis mulai terdengar. Kemungkinan 1: gue diisengin ama jones (alias Jomblo Ngenes) yang abis liat gebetannya jadian sama abang tukang bakso langganan Melinda, penyanyi cilik itu. Kemungkinan 2: ini setan, dan Kemungkinan 3: ini setan jones jualan bakso yang ngisengin gue.

"Halo, mbak?" gue menebak-nebak lewat isak tangisnya.

"Ha-halo?" Amin Ya Tuhan! Dia manusia!

"Iya oke, siapa dimana?" tanyaku penuh kelegaan.

Perempuan itu menarik napas dengan berat, dan berkata "Nasya, di Depok."

Senyuman gue refleks buyar ketika mendengar jawaban itu. Mas Mudi bisa membacanya dan ikut cemberut, penuh kebingungan.

Gue berdehem dan kembali dengan nada riang ala penyiar gue. "Iyaa!! Nasya mau ada yang diceritain sama kita malem ini?" tanya gue segembira mungkin.

"Ini semua soal tunangan gue, Adit...,"

"Dulu kita berdua deket, deket banget. Pertamanya kita sahabatan dan gue tahu dia suka sama gue. Waktu dia nembak gue, gue tantang dia untuk serius. Dan dia... ngajak gue tunangan."

"Awalnya semuanya indah dan biasa aja, sampai gue ngenalin dia sama sahabat gue di kampus."

Nafas gue terhembus lega. Keluar begitu saja, gue gak tahu kenapa.

"Sahabat gue, ngebawa temennya, namanya Silvia. Dan dia--"

Nafas gue berhenti sepersekian detik. Setelah itu mata gue kosong, menerawang jauh sekali menuju waktu lampau. Suara Nasya terdengar samar, tapi tidak gue indahkan lagi

***

"Ini, Nas, yang namanya Lilla! Sahabat gue sejak SMP, yang setresnya ga ketulungan!"

"Lilla!" gue menyalaminya mantap.

Dia tersenyum kecil dan menyalam dengan gugup, "Nasya."

Perempuan itu tampak ringkih. Bajunya dress katun berwarna pastel dengan ornamen bunga dan rambutnya dibandanai dengan bandana putih. Matanya sayu nan lembut dan kulitnya putih. Anak baik-baik, beda ama gue.

"Nah, ini Adit, tunangan Nasya!" 

Dari jauh seakan ada bunyi gitar dipetik lembut, seperti intro dari lagu band HiVi!, yang judulnya Orang Ketiga.

Pria bernama Adit ini berambut ikal berantakan, dengan kemeja kotak-kotak hijau-putih dan celana berwarna krem. Tangannya terulur dari dalam kantong dan dia menyodorkannya.

"Adit."

"Eh, Lilla, iya! Lilla!" kata gue gugup. "Lilla is my name yeaah!" Gue meniru Vicky Prasetyo, spontan.

Spontan mereka bertiga tertawa. Nasya yang lembut itu tertawa dengan menutup mulutnya dan terkekeh. Dan pria bernama Adit itu, ikut terkekeh sambil menaruh tangannya di kantung.

"Kaya ga pernah ketemu spesies cowok lo!"  ejek Silvia. "Gagap-gagap ga jelas, pake bawa-bawa Vickynisasi pula!" Silvia berdecak-decak.

Ditengah semua itu, Nasya tiba-tiba tersentak. "Ah, iya! Dit! Kita belum beli makanan titipan Mama! Sil, kita pulang duluan ya?"  Nasya menarik Adit tanpa menunggu jawaban Silvia.

"Eh, bentar, Nas!" Adit berhenti dan berbalik ke arahku. "Nas, anak PR kan? Minta LINE lo dong, ada yang pengen gue omongin sama lo!"

Aku menahan nafas penuh kekagetan. Raut itu kusembunyikan dalam-dalam, dan aku memaksa tersenyum. "Lillac."

Setelah itu waktu makin berterbangan kemana-mana, untaiannya rusak berantakan. Segala image yang kubangun rusak, bagai kalung manik yang ditarik paksa. Dan untaian hidupku jatuh bedebam ke tanah.

Aku cinta tunangan orang, persis judul sinetron penuh melodrama.

***

"Gue... gue gak tahu harus percaya Adit atau insting gue, Debora! Gue... gue sayang sama Adit! Kami bakal nikah setelah kami berdua sarjana! Gue gamau lepasin Adit gitu aja, cuma karena kepercayaan berlebihan!"

"Gue tau itu cuma LINE biasa! Tapi gue merinding bacanya! Gue merinding liat muka Adit pas senyum sambil nge-LINE cewek itu! Hati gue kaya disetrum pas denger Adit ketawa sambil nge-LINE cewek itu! Kenapa?!"

Jantung gue berdebar makin keras, makin keras dan makin keras. Leher belakang gue merinding luar biasa dan begitu dingin. Tangan gue berkeringat dan gemetar. Gigi gue bergemeletuk keras sekali.

"Halo?"

Dan gue tersentak keras. "Hah? Eh, iya?"

"Jadi gue harus apa, Deborah?"

"Ehm... kepercayaan sama pasangan itu penting, Nasya. Tapi menjaga orang yang lo sayang itu gak salah. Lo jangan gak percaya sama dia, sebaiknya lo percaya. Tapi coba aja lo buktiin sesuatu. Tapi jangan lupa, percaya terus sama pacar lo. Kepercayaan itu penting!"

"Iya... gue tahu...."

"Nah oke! Makasih udah nelepon!

Klik.

Lagu diputar begitu saja, tepat waktu.

Kasih maaf bila aku jatuh cinta
Maaf bila saja ku suka
Saat kau ada yang punya
Haruskah kupendam rasa ini saja
Ataukah kuteruskan saja
Hingga kau meninggalkannya
Dan kita bersama...

Badan gue lemas setengah mati, dan keringat gue makin deras dibawah tiupan AC 16 celcius. Kepala gue terasa panas dan nafas gue semakin sesak.

TING!

Tangan gue yang gemetar terulur masuk ke kantung tas gue.

LINE

Aditya: Hey, Lilla Deborah! Malem ini kita makan dimana nih? :)

Handphone gue jatuh ke lantai, seraya nafas gue yang makin sesak.

Gue tahu cinta gak pernah salah, tapi kenapa waktu sulit berpihak pada cinta?

Dan air mata gue menetes, membasahi manik-manik dari untaian hidup gue yang sudah berhamburan di lantai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Demam Blog dan Hidup Naik-Turun

Me After 1 Years

Yang Ngilang, Yang Gak Dikangenin