Sorrowful Gratitude to 2011 Rachel Emmanuella
Tanpa dia, gue gak akan menjadi seperti sekarang
Gue kan emang ada gangguan psikologis ya, mainly bipolar sama BPD, sisanya komorbid-komorbid bangsat lainnya kaya depresi, PTSD, sama gangguan skizotipal. Belakangan gue sadar bahwa sebenernya ada banyak gangguan psikologis yang tidak terdeteksi sejak kita masih muda.
Singkat cerita, waktu SMP gue merasa (dan sepertinya emang) aneh dan problematik.
Gue pun abis baca blog gue jaman SMP, dan gue sadar dua hal:
1. Gue akan benci ni anak kalo dia terpisah dari tubuh gue dan menjelma jadi manusia yang gue kenal
2. Sayangnya, tanpa menjadi dia, gue mungkin gak akan menjadi seperti sekarang
Karena kalau dibilang nyokap gak mendidik dengan benar, juga kurang tepat. Nyokap sudah menasehati beberapa faktor yang sebaiknya gue tidak pelihara, seperti:
1. Jangan terlalu egosentris
2. Jangan judgemental dalam berteman, gak ada manusia yang sempurna
3. Jangan terlalu kaku jadi orang kalo dibecandain
4. Jangan idealis-idealis amat
Sayangnya dia selalu merangkum hal tersebut dalam satu kalimat: "kalo kaya gitu terus gaakan ada yang suka sama kamu."
Pada masa itu, menjadi tidak disukai membuat gue merasa 'berbeda' dari orang lain. Justru kecenderungan egois dan pencarian validasi gue semakin tinggi. Sebagai ibu muda, nyokap gue juga pasti banyak kekurangan, sayang aja parenting dia salah dan dia gak pernah mau mendengarkan tante gue yang sangat terbuka dengan banyak kursus dan pelatihan parenting dan bisa diajak sharing. Dia selalu merasa lebih tua dan lebih paham dibanding tante gue 'yang pindah agama ke Islam'.
Tanpa menjadi anak yang tengil, banyak lagak, benci menjadi 'wanita normal' dan keras kepala itu, gue tidak akan menjadi gue hari ini yang:
1. Berani berbuat salah dan minta maaf
2. Berani ambil keputusan yang berbeda (kebetulan prodi gue termasuk prodi yang konformitasnya tinggi banget, orang-orangnya agak gampang terhasut gosip, dan prospek kerja kami cukup sempit sebagai lulusan pendidikan bahasa)
3. Berani ambil resiko (again, menjadi Content Writer tanpa jadi lulusan Ilkom dan Sastra Indonesia serta gak jadi guru bahasa Jepang PNS di sekolah negeri itu sebuah resiko bagi banyak orang)
Gue bisa menjadi diri gue hari ini karena si bocil umur 12 taun bernama Rachel Emmanuella itu kepala batu, me-against-the-world, dan berani bersuara, meski ga selamanya suara dia benar.
Gue pun belajar dari fanatisme gue terhadap mantan gue yang inisialnya C (iya, gue suka dia pas SMP kelas 1 sampai 3, dan akhirnya jadian selama sebulan ketika kuliah). Gue belajar bahwa meski terlihat aneh, fanatik, dan menggebu-gebu, mungkin itu cara yang gue tahu sebagai anak kecil. Namun dari tulisan-tulisan gue pas masih SMP, gue sadar bahwa gue sangat tulus mencintai si C ini, terlepas dari emang dia aja Chindo sendiri di sekolah gue, jadi attractivenessnya naik dan gue emang tipenya cowo putih dan sipit.
Gue belajar bahwa sejak kecil, gue sudah berani mengungkapkan perasaan gue. Tanpa Rachel yang persisten akan penolakan, gue gak akan menjadi Rachel yang berani bilang ke Otniel (calon suami gue saat ini) pada first date kami bahwa gue tertarik sama dia, dan ingin pursuing relationship sama dia. I get to date the best guy that's ever existed, at least untuk kehidupan gue yang seperti ini.
Dulu gue nembak si C dengan 1001 cara, tapi cara yang paling gue ingat adalah gue nulis surat sepanjang 1 halaman, dan lempar ke dalam angkot yang dia naiki. Kemudian dia bilang ke temen-temen gue kalo suratnya dibuang, padahal sama dia disimpen, haha. Kata guemah itu berani banget brouuu~
Tanpa keberanian, mungkin gue bukan seorang Rachel yang ketika dibully dan dijelek-jelekin pun tetep maju jadi Mawapres. Meski sebenernya titel Mawapres gak gitu kepake sih di dunia kerja, di dunia perkuliahan UNJ pun bukan sesuatu yang bisa dipake untuk bergaya parlente seperti kalau lu student exchange ke Jepang atau Prancis, atau kayak kalau lo lolos Duta UNJ atau Miss Indonesia (kebetulan audisi Miss Indonesia di UNJ ada sendiri gitu, mereka semacem scouting ke kampus gitu).
Cuman menurut gue, apapun itu, semuanya sudah lebih dari cukup.


Komentar
Posting Komentar